Kondisi dan Solusi Masalah Pendidikan Indonesia

Sobat Fullpaper..... Kembali lagi nie, sedikit berbagi informasi mengenai wajah pendidikan Indonesia menurut salah perspektif dari sebuah situs web yanatamath.wordpress.com, ntah seperti inikah potret pendidikan di negara indonesia? cekidot..... :)
Manusia yang berkualitas merupakan ujung tombak kemajuan suatu bangsa. Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan bahkan Malaysia menempatkan pendidikan sebagai faktor strategis dalam memajukan bangsanya. Pendidikan yang berkualitas dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan merupakan barometer tingkat kemajuan bangsa tersebut. Pendidikan sudah kita terima sejak lahir. Pendidikan bisa bersifat formal ataupun informal. Informal maknanya pendidikan bisa kita dapatkan melalui lingkungan, pergaulan, dan keseharian di rumah. Sedangkan, formal dalam artian pendidikan diperoleh melalui jalur resmi pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi. 
Di Indonesia, upaya pembangunan pendidikan formal juga dilakukan di berbagai jenjang, mulai dari pendidikan dasar, menengah, sampai pendidikan tinggi. Semua jenjang ini diharapakan memenuhi fungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional, seperti yang terdapat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yaitu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang dirilis pada tanggal 5 Oktober 2009 Indonesia berada pada kategori Pembangunan Manusia Menengah dengan Indeks IPM 0,734, dan berada di urutan ke-111 dari 180 negara. Posisi ini kalah jauh dari negara tetangga kita, Malaysia, yang berada pada kategori Pembangunan Manusia Tinggi dengan indeks IPM 0,829, dan berada pada urutan ke-66. IPM merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
Terlihat jelas bagaiman kondisi pendidikan bangsa kita dewasa ini. Pada kenyataanya pendidikan belum sepenuhnya memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui nilai dan manfaat pendidikan itu sendiri. Rendahnya kualitas lulusan merupakan salah satu bukti bahwa pendidikan di Indonesia belum secara optimal dikembangkan. Relevansi pendidikan dalam hal substansi dengan kebutuhan masyarakat dinilai masih rendah. Parahnya lagi, pendidikan menjadi kawasan politisasi dari para pejabat. Semakin tertinggalnya pendidikan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain, harusnya membuat kita lebih termotivasi untuk berbenah diri. Banyaknya masalah pendidikan yang muncul ke permukaan merupakan gambaran praktek pendidikan kita. Pendidikan memiliki peranan dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan yang disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pembangunan bangsa tidak akan berarti apa-apa jika tidak diimbangi pembangunan di sektor pendidikan. Walaupun pembangunan di sektor ekonomi baik, tapi jika moral bangsanya buruk, maka lambat laun bangsa ini akan hancur. Maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kualitas sektor pendidikan.
Masalah Pendidikan Indonesia 
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) merupakan pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Berdasarkan rilis terbaru IPM (Ini pun data sejak 5 Oktober 2009) Indonesia berada pada kategori Pembangunan Manusia Menengah dengan Indeks IPM 0,734, dan berada di urutan ke-111 dari 180 negara. Dari hal ini terlihat jelas bahwa pendidikan di Indonesia belum optimal pelaksanaanya dalam menunjang pembangunan bangsa.
Ada beberapa aspek pendidikan yang bisa kita cermati dan mengemuka akhir-akhir ini sebagai masalah-masalah penting dalam pendidikan, yaitu :
a. Kurikulum
Kurikulum sering dianggap dokumen sakti yang harus menjadi pegangan. Apa yang tertuang di dalamnya menjadi satu-satunya pegangan. Banyak guru yang masih takut berkreasi dan berinovasi. Orientasi kurikulum masih dilihat dari ketuntasan materi pelajaran. Guru menjadi panik begitu menyadari materi yang diajarkan belum terselesaikan. Guru selalu dikejar-kejar target kurikulum, padahal pelaksanaan pembelajaran mengalami berbagai situasi yang berbeda-beda setiap semester dan setiap tahunnya. Sehingga pembelajaran di kelas sebagian besar masih terbatas pada penyelesaian bahan ajar tanpa memedulikan apakah seluruh peserta didik sudah menguasai pelajaran atau belum. Realitanya hanya sepertiga peserta didik yang menguasai seluruh pelajaran. Sedangkan duapertiganya akan mengakumulasikan ketidakpahamannya yang nanti tercermin dalam ketidakmampuannya menjawab tes yang diberikan.
Selain itu, substansi kurikulum dalam hal kepadatan materi tidak signifikan dengan alokasi waktu tersedia. Ini juga merupakan salah satu sebab bahwa materi yang dibelajarkan di kelas kurang bermakna dan kurang terlihat relevansinya bagi siswa.
b. Biaya
Biaya pendidikan mahal? ya, bagi sebagian besar masyarakat biaya pendidikan masih dianggap mahal. Kita lihat contoh real mengenai program Wajib Belajar Sembilan Tahun, yang sejatinya masih menjadi pekerjaan rumah bagi kita. Karena pada kenyataannya banyak anak-anak usia sekolah yang tidak bersekolah atau putus sekolah dengan alasan biaya. Padahal ada dana bantuan dari pusat, tapi tetap saja ada pungutan-pungutan liar yang dilakukan sekolah berkedok kesepakatan antara sekolah dan orang tua siswa. Tapi serta merta kita tidak bisa menyalahkan sekolah saja. Praktek di luar, dana bantuan dari pusat tidak utuh sampai di sekolah. Entah di tingkat mana dana-dana tersebut dipangkas oleh oknum-oknum yang terhormat.
Selain itu, adanya parktek jual-beli kursi. Sungguh miris jika mendengarnya. Hanya untuk mencari sekolah atau agar anaknya bersekolah di tempat yang diinginkan oleh orang tuanya (yang notabene belum tentu anaknya nyaman berada di sekolah pilihan orang tuanya), orang tua siswa rela untuk meronggoh kocek untuk diberikan kepada oknum-oknum yang menjanjikan kesempatan bersekolah di sekolah yang diinginkan. Dan jangan salah, oknum ini tidak harus berasal dari sekolah, banyak pejabat-pejabat yang menggunakan kekuasaannya untuk menekan pihak sekolah agar tentengan (anak yang membeli kursi) diterima. Bukankah ini salah satu bentuk korupsi? Jika dari sekolah anak-anak kita sudah terbiasa melihat praktek-praktek curang seperti ini, jangan salahkan banyak koruptor di Indonesia.
c. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang tinggi, memiliki kemampuan analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan dalam suatu permasalahan akan dapat mengambil keputusan yang tepat. Akan tetapi fenomenanya, pendidikan itu dapat pula menyesatkan. Bisa kita lihat dari kualitas pendidikan kita yang hanya diukur berdasarkan ijazah. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang diperjual-belikan. Dan tidak bisa kita pungkiri banyak pejabat yang membelinya. Jika kita pikirkan, berarti asalkan memiliki uang kita tidak perlu bersekolah, ijazah tinggal kita beli saja. Bagaimana kondisi bangsa ini, jika semua orang berpikiran seperti itu?
d. Ujian Nasional
Kontroversi mengenai pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sudah mewacana sejak tahun pelajaran 2002/2003. Pada tahun tersebut banyak pihak merasakan penyimpangan dari pelaksanaan UN, yang pertama bahwa yang dinilai dalam UN hanya aspek kognitif peserta didik, padahal dalam kependidikan, kemampuan peserta didik meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penyimpangan yang kedua yaitu bahwa penentuan standar pendidikan dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Hal ini tentunya merampas hak guru dalam melakukan penilaian. Ketiga, UN mengabaikan unsur penilaian proses. Dan, penyimpangan yang keempat, yaitu UN memberikan beban sosial dan psikologis kepada siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang di UN-kan. Padahal tujuan pembelajaran adalah untuk membangun pemahaman siswa, bukannya malah menghafal pelajaran.
Walaupun pada dua tahun pelajaran terakhir penyimpangan-penyimpangan di atas sudah diminimalisir, tapi tetap saja para pendidik dan siswa belum bisa bernafas lega. Memang penilaian oleh guru selama proses pendidikan berlangsung sudah ikut dipertimbangkan, namun proporsinya masih kecil, hanya 0,4. Sedangkan UN yang standarnya masih ditentukan oleh pemerintah pusat memiliki proporsi 0,6. Ini suatu beban psikologis juga bagi siswa.
e. Fasilitas Pendidikan
Akhir-akhir ini banyak kita mendengar dan melihat di televisi berita tentang sekolah-sekolah yang hampir roboh, dimana anak-anaknya terpaksa belajar di luar kelas. Miris melihat ini, bahkan sampai sekolah yang berada di ibukota pun mengalami kejadian seperti ini. Bukankah negara ini memiliki anggaran pendidikan yang tentunya dapat menanggulangi permasalahan seperti ini. Para pejabat kita di Senayan saja tiap bulan bisa melakukan tour ke luar negeri berkedok studi banding, mengapa hanya memperbaiki sekolah yang rusak mesti berlarut-larut. Yang dirugikan tentunya anak-anak calon penerus bangsa ini. Bagaimana mereka tidak was-was jika harus belajar di dalam gedung yang hampir roboh.
Solusi bagi Problematika Pendidikan Indonesia
Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terkotak-kotak. Tetapi harus di tempuh dalam suatu tindakan yang menyeluruh. Misalnya jika pemerintah hanya menaikkan anggaran, tetapi sumber daya dan mutu pendidikan masih rendah, maka apa yang diharapkan tidak akan tercapai.
Jika kita lihat melalui permasalahan kurikulum, hal yang dapat kita benahi adalah pelaksanaan dan tuntutan yang diberikan kepada pelaksana kurikulum ini. Contohnya, jika guru di sekolah diberikan keleluasaan dalam menjalankan kurikulum (asal masih berada pada koridornya) maka janganlah guru dituntut untuk menghabiskan materi. Bukankah pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa benar-benar memahami materi walaupun sedikit, daripada banyak tapi yang diketahui hanya permukaannya saja.
Menyoal masalah biaya, jika semua pemangku pendidikan menjalakan program dengan benar, anggaran pendidikan di negara ini tidaklah kurang. Sayangnya dengan adanya permainan oknum-oknum, segala hal menjadi kurang, pemerataan penerimaan dana pendidikan pun tidak seimbang.
Pendidikan yang berkualitas memang tidak murah, atau tepatnya bisa kita katakan tidak harus murah atau gratis. Pemerintah seharusnya menjamin bahwa setiap warga negaranya memperoleh pendidikan. Menjamin pula bahwa masyarakat bawah bisa mengakses pendidikan yang bermutu. Idealnya pendidikan di Indonesia harus dapat dikenyam oleh anak usia sekolah minimal SMA sederajat, tanpa memandang anak tersebut berasal dari keluarga kaya ataupun miskin.
Mengenai permasalahan pendidikan yang hanya didasarkan pada ijazah dan kelulusan UN. Ijazah memang penting untuk menunjukkan legalitas kemampuan kita, akan tetapi hendaknya yang memerlukan ijazah ini lebih menekankan proses perolehan ijazah. Tidak ada bedanya dengan UN, sebenarnya pelaksanaan UN masih relevan, tetapi dalam prosesnya masih ada yang perlu diperhatikan dan dibenahi. Contohnya, standar kelulusan lebih baik disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan masing-masing siswa.
Jika menyangkut masalah sarana prasarana tentunya akan berpulang lagi pada komitmen pemerintah dan pemangku pendidikan terkait. Dan tidak terlepas pula yang sudah dibahas di atas bahwa semuanya harus dikembalikan ke pribadi pemangku kepentingan, apakah mereka berniat untuk benar-benar berguna bagi negara atau sekedar mencari keuntungan ditengah kondisi pendidikan bangsa ini. Jika semua pemangku kepentingan memiliki rasa kejujuran dan keinginan untuk memajukan bangsa, tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan, dan bisa bersifat tegas terhadap hal-hal yang dapat merugikan sistem pendidikan kita, niscaya pendidikan yang berkualitas akan dimiliki oleh bangsa ini. Mulai dari pejabat pusat dan sampai guru yang bersentuhan langsung dengan siswa, harus memiliki komitmen yang sama dalam memajukan pendidikan bangsa ini.
Kesimpulannya, Kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Padahal pendidikan memiliki peranan penting dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan bangsa ini. Ada beberapa aspek pendidikan yang akhir-akhir ini mengemuka dalam beberapa wacana yang berkaitan dengan problematika pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. kurikulum yang pelaksanaanya belum relevan dengan tuntutan masyarakat,
b. biaya pendidikan yang mahal,
c. tujuan pendidikan yang dalam prosesnya pencapaiannya menyimpang,
d. kontroversi pelaksanaan Ujian nasional, dan
e. banyak fasilitas pendidikan yang tidak memadai.
Semua hal tersebut pada dasarnya berpulang pada kejujuran pelaksana pendidikan dalam menjalankan pendidikan bangsa ini. Jika semua pelaksana pendidikan memiliki kejujuran dan komitmen yang sama yaitu untuk memajukan bangsa ini, niscaya pendidikan yang berkualitas akan diperoleh.
Semoga informasi di atas bermanfaat..... :)

0 komentar

Post a Comment