Makalah Psikologi Perkembangan

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan.
Tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinterksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis.
Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia” berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Gambaran dari perkembanagn cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul, dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertaioleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan.
Menurut Erikson delapan tahap perkembanagn yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirearki, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.

2.Rumusan Masalah
1.Apa yang terkandung pada perkembangan kepribadian menurut Erikson?
2.Apa yang terkandung pada tahap perkembangan menurut Erikson?
3.Apa yang terkandung pada perkembangan kepribadian Dewasa menurut Erikson?

3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui perkembangan Kepribadian menurut Erikson.
2. Mengetahui perkembangan menurut Erikson.
3. Mengetahui perkembangan kepribadian dewasa menurut Erikson.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Perkembangan Kepribadian Menurut Teori Erik H. Erikson
Teori Perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erik Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmud Freud, Erikson mendapat posisi pentind dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia; satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan social dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu :
1. Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas.
2. Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.
Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap.
Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar Di mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa.
Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagian-bagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya.

2.2 Tahap Perkembangan Menurut Erik H. Erikson
Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut :
Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan dalam tabel berikut ini :
Developmental Stage
Basic Components
Infancy (0-1 thn)
Early childhood (1-3 thn)
Preschool age (4-5 thn)
School age (6-11 thn)
Adolescence (12-10 thn)
Young adulthood ( 21-40 thn)
Adulthood (41-65 thn)
Senescence (+65 thn)
Trust vs Mistrust
Autonomy vs Shame, Doubt
Initiative vs Guilt
Industry vs Inferiority
Identity vs Identity Confusion
Intimacy vs Isolation
Generativity vs Stagnation
Ego Integrity vs Despair

2.3 Perkembangan Kepribadian Dewasa Menurut Erik H. Erikson
2.3.1. Keintiman vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-40 tahun. Masa Dewasa Awal ( young adulthood) yang ditandai dengan adanya kecenderungan intimacy-isolation. Kalau pada masa sebelumnya individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya atau lebih dikenal dengan teman akrab, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Dapat ditandai dengan keselektifan dalam membina hubungan intim hanya dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lain.
Masa ini menurut Erikson adalah keinginan mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode ini diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran, guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Dimana pemahaman kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi keadaan ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat terisolasi. Erikson menyebutkan adanya kecenderungan maldaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, dimana seseorang akan merasa sudah terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya hubungan persahabatan, tetangga, bahkan dengan orang-orang terdekat kita sekalipun. Sementara dari segi lain Erikson menyebutnya keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan.
Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman serta isolasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Cinta yang dimaksud disini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih, namun dengan orang-orang terdekat kita.
Ritualisasi yang terjadi pada tahapan ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afiliasi merupakan sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan Elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh sikap curiga terhadap orang lain.

2.3.2 Generativitas vs Stagnasi
Tahap Masa dewasa ( dewasa tengah) ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 41-65 tahun. Masa Dewasa (Adulthood) ditandai dengan adanya kecenderungan generativity-stagnation. Pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari perkembanagn segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga pada tahap ini individu mengalami perkembangan yang cukup pesat. Walaupun pengetahuan serta kecakapan individu sangat luas, dalam mengerjakan atau mencapai hal-hal tertentu individu mengalami hambatan karena keterbatasan dalam menguasai segala bentuk ilmu serta kecakapan.
Pada setiap tahap perkembangan individu terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula dengan masa ini, salah satu tugas untuk dicapai ialah mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas)dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas merupakan perluasan cinta individu ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat tercermin sika memperdulikan orang lain. Pemahaman ini jau berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan adalah tidak perduli terhadap siapapun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga individu tidak memiliki cukup waktu bagi diri sendiri. Maglinansi yang ada adalah penolakan, diman seseorang tidak dapat berperan secra baik dalam lingkungan kehidupannya akibatnya kehadirannnya di tengah-tengah area kehidupannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbanagn antara generativitas dan stagnasi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otorisme. Generasional ialah suatu interaksi/ hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otorisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak berlangsung dengan baik dan menyenangkan.

2.3.3. Intregritas vs Keputusan
Tahap terakhir dalam teori Erikson disebut sebagai thap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 65 tahun ke atas. Masa hari tua ( Senescence) ditandai dengan adanya kecenderungan ego integrity-despair. Pada mas aini individu telah memiliki kesatuan atau integritas pribadi, semua yang telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ini masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi Karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai. Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan kemampuan secara perlahan oleh usia seringkali mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusasaan seringkali mengahantuinya.
Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan menjadi tugas pada usia senja ini adalah intregritas dan berupaya menghilangkan keputusasaan dan kekecewaan. Pada tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tiak mampu berbuat apa-apa lagi. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika dalam diri individu yang berada pada tahap ini memiliki intregritas yang memiliki arti yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun sikap ini bertolak belakang jika di dlam diri individu bersangkutan tidak terdapat intregritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderunagn terjadinya intregritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptive yang biasa disebut Erikson suatu sikap berandai-andai, sementara individu bersangkutan tidak mau menghadapi kesulitan kenyataan pada masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara maglinansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai suatu sikap sumpah serapah dan menyeseali kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antaa intregritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapaki daam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.

BAB III
PENUTUP

1.Kesimpulan
Pada dasarnya kedua teori Psikoanalisa yang diungkapakan oleh Freud dan Erikson tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama mengklasifikasikan fase-fase Psikologi seorang individu berdasarkan usia, sejka saat dilahirkan hingga meninggal nantinya. Hanya saja, Freud berpendapat bahwa dari semua fase Psikologis yang dialami manusia, merupakan murni karena dorongan/keinginan yang luar biasa dari dalam (internal)individu tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar (bawah sadar). Kemudian seperti yang kita ketahui, Erik H. Erikson berusaha menyempurnakan teori Psikoanalisa yang telah dikemukakan Freud dengan menambahkan bahwa selain keinginan/ dorongan dari dalam diri si individu, fase-fase psikologis tersebut ternyata juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar (eksternal),seperti adat, budaya dan lingkungan tempat si individu dan kepribadian dibangun melalui serangkaian krisis-krisis dan alternatif-alternatif.

2.Saran
Saya melihat Erikson berusaha menjelaskan bahwa ada faktor-faktor eksternal juga yang memiliki andil dalam membentuk perilaku suatu individu, bukan hanya karena adanya keinginan/ dorongan yang sangat kuat dari dalam diri. Berdasar argumentasi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya ( interdependence), menurut saya disinilah perbedaan pandangan antara Freud dan Erikson tentang Psikoanalisa.

DAFTAR PUSTAKA

Al Khan dalam www.kopipaste.blogspot.com

0 komentar

Post a Comment