Sobat Fullpaper..... sebelumnya
saya telah posting sebuah tema mengenai Kondisi Ekonomi-Politik, Sosial-Budaya Dan Pendidikan Indonesia Pasca
Reformasi . Kali ini saya kembali mengangkat tema mengenai Dampak Globalisasi (Perdagangan Bebas) Terhadap Kondisi
Ekonomi Politik Indonesia. Sebuah
paradigma yang mungkin perlu dipertimbangkan dan diterapkan dalam kultur negara
kita tercinta,. Artikel ini semoga memberi manfaat untuk kita semua demi kemajuan
bangsa dimasa yang akan datang.
Perbincangan
tentang globalisasi mulai ramai dibicarakan sekitar tahun 1980-an. Kata globalize dan globalism diperkenalkan
oleh sebuah buku kecil yang terbit pada tahun 1944, sementara kata globalization masuk
ke dalam kamus untuk pertama kalinya pada tahun 1961 (Reiser dan Davies.
1944:212, 219;Webster. 1961; Ikbar. 2006). Banyak definisi
dari globalisasi ini, salah satunya menurut Martin Khor (dalam
Ikbar, 2006: 205) mengatakan, “Globalisasi adalah apa yang oleh kita dari Dunia
Ketiga selama beberapa abad dikenal dengan kolonialisasi.”
Dari definisi
tersebut ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa. Dari sudut
pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kolonialisasi atau kapitalisme dalam
bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya pasti akan
mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara berkembang dan tertinggal
makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung
berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia.
1.
Perdagangan Bebas
Perdagangan
bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepadaHarmonized
Commodity Description and Coding System (HS) dengan
ketentuan dari World Customs
Organization yang berpusat di Brussels,Belgium.
penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan
lainnya.
Perdagangan
bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan
yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan
perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.
Dalam
penggunaannya secara tradisional, istilah ekonomi politik dipakai sebagai
sinonim atau nama lain dari istilah ilmu ekonomi. Fokus dari studi ekonomi
politik adalah fenomena-fenomena ekonomi secara umum, yang bergulir serta
dikaji menjadi lebih spesifik , yaitu menyoroti interaksi antara
faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor politik. Namun, dalam perkembangan yang
berikutnya, istilah ekonomi politik selalu mengacu pada adanya interaksi antara
aspek ekonomi dan aspek politik. Adanya kelemahan instrumental ini menyebabkan banyak kalangan
ilmuwan dari kedua belah pihak-berusaha untuk mempertemukan titik temunya,
sehingga para ilmuwan ini berusaha untuk mencoba mengkaji hal ini dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan dalam ekonomi politik. Dalam upaya memaksimalkan studi
mengenai ekonomi politik, juga tidak boleh terlepas dari sistem ekonomi di
negara yang bersangkutan. Terkait dengan hal tersebut, setidaknya dalam
berbagai jenis yang ada, terdapat dua sistem ekonomi besar dunia yang dibagi menjadi
dua kategori pokok, yakni sistem ekonomi yang berorentasi pasar (ekonomi liberal)
dengan sistem ekonomi terencana atau yang lebih dikenal sebagai sistem ekonomi
terpusat (sosialis).
2. Perdagangan
Bebas sebagai Dampak Globalisasi
Di zaman
yang serba modern seperti saat ini, perdagangan bebas telah menjadi harga mati
yang tidak bisa ditawar lagi. Hampir seluruh negara di dunia telah dipengaruhi
oleh sistem ekonomi perdagangan bebas, atau yang dikenal dengan free
trade ini. Perlu kita ketahui bahwa globalisasi ini merupakan sebuah
sistem yang berani menembus ruas dunia sehingga menghilangkan batas-batas
negara. Namun, perlu dicatat pula bahwa globalisasi tidak akan pernah ada jika
negara itu benar-benar tidak ada.
Dalam
globalisasi sebenarnya peran negara yang paling utama adalah sebagai ‘alat
pengukur’, yang bisa menyebabkan seseorang tahu globalisasi tengah
berperan jika dia tidak sedang berhubungan dengan temannya yang berada di
negara lain atau bisa juga jika dia tidak sedang menggunakan produk
dari negara lain. Maka dari itu, negara mempunyai peran besar yaitu sebagai
pengukur keberadaan sistem globalisasi ini. Di samping itu, peran negara adalah
menjalankan sedikit urusan yang tidak bisa dikerjakan sendiri oleh individu,
yaitu memaksimalkan kesejahteraan individu seperti dengan pembentukan sistem
hukum, jaminan keamanan nasional, dan pembuatan uang.
Pertumbuhan
perdagangan dunia pun meningkat secara drastis. Akselerasitrend ini
yang diharapkan terjadi oleh kaum liberal seiring dengan semakin meningkatnya
teknologi informasi dan telekomunikasi. Dengan semakin terintegrasinya
perdagangan dunia, maka hubungan perekonomian negara-negara akan semakin
interdependen. Akan tetapi proyeksi ini menyimpan beberapa permasalahan
terutama dengan semakin berkembangnya praktek neomerkantilisme oleh Amerika
Serikat, hegemoni dunia yang sedang menuruni puncak popularitas ekonomi akibat
krisis finansial global yang belum lama ini melanda.
3.
Perdagangan Bebas di Indonesia
Wacana
perdagangan bebas sebagai jalan menuju kesejahteraan masih terus diperdebatkan
khususnya di Indonesia. Di media massa masih sering termuat berbagai retorika
politisi maupun pemain industri dalam negeri yang meneriakkan pentingnya
proteksionisme. Kemudian meskipun telah banyak literatur ilmu ekonomi
yang menunjukkan secara meyakinkan bahwa perdagangan bebas membawa lebih banyak
manfaat bagi banyak orang dari pada sebaliknya, namun tampaknya hal itu saja
belum cukup untuk membimbing pembuatan kebijakan publik yang lebih cenderung
tunduk pada kekuatan lobi pro proteksi. Meski demikian, sebagian dari pengambil
kebijakan Indonesia (pemerintah) percaya pada manfaat perdagangan bebas juga,
terbukti dari tarik-ulur yang kadangkala muncul di media massa kita.
Perhitungan ekonomi politik pastilah penyebab tarik-menarik ini. Harus diakui
pembuatan kebijakan memang perlu perencanaan dan perhitungan yang matang.
Seiring
dengan munculnya perdagangan bebas itu, nasionalisme dan proteksionisme menjadi
lebih terlihat. Apalagi Indonesia juga akan memasuki era perdagangan bebas
wilayah ASEAN atau ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun
2015.[5] Jadi, isu nasionalisme dalam konteks perdagangan pun
semakin penting. Hal ini bertujuan agar produk Indonesia bisa menjadi
tuan rumah di negeri sendiri. Memang kesepakatan Indonesia dalam perjanjian
organisasi perdagangan bebas yang biasa disebut World Trade
Organization(WTO) masih menuai kontroversi. Karena sebagian kalangan
menilai Indonesia belum layak turut serta dalam perdagangan bebas. Namun,
karena Indonesia terlanjur menyetujui perjanjian WTO, maka mau tidak mau
Indonesia harus menyiapkan diri menyongsong perdagangan bebas. Inilah harga
yang harus dibayar akibat menganut sistem ekonomi terbuka. Meskipun dalam
prakteknya justru produk-produk asing terutama produk Cina yang membanjiri
pasar Indonesia.
Era
globalisasi yang telah dimulai bukan saja berpengaruh pada hubungan luar negeri
bangsa ini, namun lebih dari itu, asumsi dasar perekonomian nasional juga
sebenarnya telah semakin bergeser. Indonesia yang memiliki basis perekonomian
kerakyatan, tentunya mengalami tantangan terhadap paham ekonomi liberal yang
berasaskan kompetisi bebas dan bersifat individu maupun kelompok. Era
perdagangan bebas yang menjadi salah satu senjata dari ekonomi liberal, saat
ini telah ada di depan mata, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang
meratifikasinya. Harapan kita sekarang hanyalah adanya kesiapan dan kemampuan
secara mental, sistem sosial budaya, politik, serta ekonomi bangsa kita dalam
menghadapi ancaman globalisme-kapitalistik ini. Sehingga tidak memudahkan
pengintegrasian perekonomian Negara Indonesia ke dalam genggaman para pemodal
negara-negara kaya.
4. Dampak
Perdagangan Bebas terhadap Ekonomi Politik Indonesia
Dengan
adanya perdagangan bebas, perusahaan-perusahaan transnasional dan pasar modal
dunia membebaskan bisnis dari kekuasaan politik tanpa distorsi oleh intervensi
negara. Dikonklusikan bahwa aktivitas bisnis yang primer dan kekuasaan politik tidak
mempunyai peran lain kecuali perlindungan sistem terhadap perdagangan bebas
dunia. Akibatnya, peran negara sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat
semakin tereduksi oleh kekuatan pasar yang tidak mempunyai agenda sosial dan
usaha pengentasan kemiskinan. Kondisi ini berimplikasi terhadap relasi sosial
yang selalu diukur dari pendekatan dan solusi pasar, serta prinsip ekonomi
pasar yang juga dijadikan tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai kebijakan,
yang selanjutnya akan melahirkan arogansi kekuatan kapital dan negara berperan
sebagai ‘tukang stempel’ bagi mereka. Yang mana dalam hal ini akumulasi modal
menjadi prasyarat isi material kelembagaan negara.
Selain itu
dengan adanya perjanjian-perjanjian dengan organisasi perdagangan versi
WTO dapat menyebabkan adanya hambatan nontarif yang sangat
merugikan, dimana hal ini sengaja diciptakan seperti yang terjadi saat
ini. Kebijakan nontarif impor ini memaksa penghapusan satu-satunya bentuk
proteksi yang tersisa oleh negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia
terhadap penetrasi pasar dalam negeri oleh kekuatan-kekuatan imperialis. Tetapi
negara-negara imperialis dapat membatasi penetrasi terhadap pasar dalam negeri
mereka terhadap ekspor dari negara-negara dunia ketiga melalui penerapan
serangkaian hambatan-hambatan nontarif yang kokoh.
Sedangkan
pada negara dunia ketiga atau Indonesia, dengan adanya hambatan nontarif sudah
tentu akan menyebabkan banjirnya barang impor karena mudahnya barang luar
negeri masuk ke pasar dalam negeri serta adanya peralihan impor dari yang
tadinya ilegal menjadi legal. Maka dengan ini agenda pemberdayaan ekonomi
rakyat akan semakin terpuruk akibat desakan kuat dari komoditas-komoditas asing
yang notabene telah mengekspansi secara simultan, dan benturan antara
pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pasar bebas pun tidak dapat terelakkan. Yang
semua ini menyebabkan semakin banyaknya angka pengangguran dan akhirnya
melumpuhkan perekonomian nasional. Sebenarnya dibalik semua ini ada
kepentingan dari negara-negara maju, yaitu agenda penaklukan kembali pasar
dalam negeri negara-negara dunia ketiga. Yang mana inilah tujuan mendasar
dibalik tekanan kekuatan negara-negara imperialis terhadap pasar bebas.
Di lain sisi
dampak positif yang dapat diambil dari liberalisasi perdagangan versi WTO ini
tidak mempunyai peran signifikan dalam usaha peningkatan sumber daya yang ada
maupun produk yang akan dihasilkan. Selain itu dengan adanya perdagangan bebas
hanya akan lebih dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok tertentu saja
yang mempunyai kekuatan kapital kuat dan sebagian besar lainnya lebih
dirugikan. Karena mereka dijadikan tidak produktif dan hanya dijadikan sebagai
konsumen yang baik saja.
5. Upaya
Antisipasi Indonesia dalam Menghadapi Perdagangan Bebas
Melihat
dampak yang lebih banyak merugikan tersebut, kiranya perlu dilakukan antisipasi
yang cepat dan menyeluruh. Dalam mengantisi dampak-dampak perdagangan bebas
yang cenderung kurang menguntungkan bagi Indonesia tersebut, ada beberapa upaya
yang telah ditempuh maupun belum ditempuh oleh pemerintah. Beberapa bentuk
upaya antisipasi yang belum maupun sudah ditempuh Indonesia antara lain:
1. Memberikan pendidikan kepada
masyarakat untuk lebih mencintai produk dalam negeri dengan terus meningkatkan
mutu produk-produk dalam negeri agar lebih berkualitas. Misalnya dengan
menggiatkan program Aku Cinta Produk Indonesia (ACI ).
2. Melakukan negosiasi ulang
kesepakatan perdagangan bebas itu atau minimal menundanya, terutama untuk
sektor-sektor yang belum siap.
3. Melakukan seleksi produk untuk
melindungi industri nasional.
4. Mencabut pungutan retribusi yang
memberatkan dunia usaha di daerah, agar industri lokal menjadi lebih
kompetitif.
5. Pengetatan pemeriksaan barang masuk
di pelabuhan harus dilakukan juga, karena negara lain juga melakukan hal yang
sama.
6. Memberikan kemudahan dalam bentuk
pendanaan, dengan cara kredit usaha dengan bunga yang rendah.
7. Mengaktifkan rambu-rambu nontarif,
seperti pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI), ketentuan label, dan
sejumlah peraturan lainnya terkait dengan pengamanan pasar dalam negeri.
8. Memperbaiki berbagai kebijakan
ekonomi untuk menghadapi perdagangan bebas.
Tetapi
secara jangka panjang langkah-langkah tersebut tidak bisa digunakan secara permanen.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa ini tidak bisa mengelak dari
kebijaksanaan global tersebut. Masyarakat industri harus berjuang dengan keras
untuk memenangkan persaingan global yang semakin mengancam tersebut, maka di
sini dibutuhkan suatu kejelian. Oleh karena itu, negara dunia ketiga harus
saling membahu dalam menciptakan tata dunia yang adil dengan menggalang seluruh
kekuatan yang tersedia, baik dalam bentuk kebijakan maupun koalisi untuk
penyusunan skenario ekonomi dunia yang adil agar eksploitasi tidak kembali
terjadi.
Referensi:
Rachbini, Didick J. 2002. Ekonomi Politik: Paradigma dan Teori Pilihan Publik.Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
0 komentar
Post a Comment